Oknum BPKP Usir PKL Berjualan dan Pasang Beton Penuhi Fasum

Surabaya, inilah berita – Di tengah semangat pemerintah pusat dan daerah untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi rakyat kecil, terutama pelaku usaha mikro dan pedagang kaki lima (PKL), justru muncul pemandangan ironis yang mencederai semangat tersebut.
PKL yang sehari-hari menggantungkan hidup dari berjualan di atas trotoar, diusir secara arogan oleh seseorang yang diduga oknum dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) di Surabaya.
Peristiwa ini terjadi di trotoar depan pagar rumah kosong yang disebut-sebut sebagai aset milik BPKP. Lokasi tersebut selama ini dikenal sebagai jalur pedestrian dan fasilitas umum yang biasa dilalui warga.
Sang PKL berjualan secara sederhana tanpa menutup jalan, bahkan tetap menyisakan ruang bagi pejalan kaki yang melintas. Namun secara tiba-tiba, diduga oknum dari BPKP mendatangi lokasi dan memaksa PKL untuk angkat kaki, dengan nada tinggi dan sikap arogan.
Sejumlah warga yang menyaksikan kejadian itu menilai tindakan tersebut sangat tidak manusiawi dan mencerminkan mental feodal yang masih bercokol di kalangan oknum aparatur negara.
“Kami sangat menyayangkan. Di saat rakyat kecil berusaha mencari nafkah halal, malah diusir seperti sampah oleh mereka yang seharusnya melindungi,” ujar salah satu warga sekitar yang tak ingin disebut namanya.
Keanehan tidak berhenti sampai di situ. Justru di lokasi yang sama, terdapat sebuah struktur permanen berupa betonan sumur yang menjorok ke jalur trotoar. Bangunan ini jelas memakan ruang fasilitas umum dan menutup sebagian akses bagi pejalan kaki.
Padahal menurut aturan tata ruang kota dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, trotoar adalah ruang publik yang tidak boleh dialihfungsikan secara sepihak, apalagi oleh instansi pemerintah yang seharusnya menjadi teladan dalam penegakan peraturan.

Ironisnya, tidak ada tindakan dari pihak terkait terhadap pelanggaran tersebut. Pemasangan betonan sumur tersebut dibiarkan, seolah menunjukkan bahwa institusi negara boleh bertindak semaunya di atas tanah publik.
Apakah ini bentuk standar ganda? Di mana rakyat kecil ditekan dan dibatasi, sementara institusi negara justru bisa melanggar aturan tanpa konsekuensi?
Ketika dikonfirmasi, pihak BPKP belum memberikan tanggapan resmi hingga berita ini dipublikasikan. Sikap diam ini mempertegas kesan bahwa ada yang hendak ditutupi, atau bahkan lebih parah: ada pembiaran atas tindakan semena-mena yang dilakukan oknum di lapangan.
Padahal sebagai lembaga negara yang bertugas melakukan pengawasan dan pengendalian keuangan serta pembangunan, BPKP semestinya menjadi garda terdepan dalam menjunjung etika dan aturan hukum.
Ketua RT setempat bahkan menyatakan kekecewaannya. Menurutnya, selama ini warga setempat hidup berdampingan dengan para PKL yang berjualan di trotoar secara tertib dan tidak mengganggu.
“Kalau pun memang ada aturan yang dilanggar, ya seharusnya ditegur dengan baik. Jangan malah bertindak seperti preman berdasi,” tegasnya.
Aktivis kota dan pemerhati tata ruang juga angkat bicara. Menurut mereka, pelanggaran terhadap fungsi fasilitas umum oleh lembaga negara adalah preseden buruk.
Jika trotoar boleh dipasangi betonan sumur oleh institusi resmi, maka tidak menutup kemungkinan ruang publik lainnya juga akan dikuasai secara sepihak oleh lembaga-lembaga negara lain.
“Ini bukan sekadar soal pengusiran PKL. Ini soal prinsip dasar: apakah negara masih berpihak pada rakyat kecil?” kata Dimas Arif, aktivis urban dari Koalisi Warga Peduli Kota.
Masyarakat kini menuntut transparansi dan akuntabilitas dari BPKP atas kejadian tersebut. Mereka mendesak agar inspektorat BPKP turun tangan menyelidiki dugaan arogansi oknum yang mengusir PKL serta meminta penjelasan resmi terkait legalitas pemasangan struktur permanen di atas trotoar.
Surabaya sebagai kota besar yang mengusung konsep “smart city” dan kota ramah pedestrian seharusnya tidak membiarkan praktik semacam ini berlangsung.
Pemerintah kota diharapkan segera turun tangan melakukan penertiban bangunan liar yang mencaplok fasum, tidak peduli apakah itu milik warga biasa, korporasi, atau bahkan lembaga negara sekalipun. Hukum harus berlaku adil dan setara bagi semua pihak.
Peristiwa ini seharusnya menjadi alarm bagi semua pihak, bahwa kekuasaan tidak boleh dijadikan alat untuk menindas. Bahwa jabatan bukanlah tiket untuk bertindak semena-mena. Dan bahwa negara, pada akhirnya, akan dinilai dari bagaimana ia memperlakukan rakyat kecil. (red)